ZENOSPHERE

science, philosophy, and cultural menagerie

Sepakbola dan Permutasi Kewarganegaraan

Di dunia sepakbola — terutama liga Eropa — banyak sekali contoh pemain yang eligible untuk berpindah kewarganegaraan. Sebenarnya ini hal biasa; namanya juga orang tinggal di bumi. Meskipun begitu yang hendak saya bahas di sini bukan pindah negaranya, melainkan jumlah negara yang bisa dipilihnya. Dalam kasus ekstrim seorang pemain bola dapat eligible untuk memilih kewarganegaraan antara tiga hingga empat negara. Misalnya contoh berikut.

Pedro Botelho, pemain asal Brasil, dikontrak oleh klub Arsenal asal Inggris. Dia lahir di Brasil oleh orangtua berdarah Brasil, oleh karena itu, by default Botelho berkewarganegaraan Brasil. (aturan Ius soli dan Ius sanguinis)

pedro botelho

Pedro Botelho dalam salah satu sesi latihan

(image courtesy of Arsenal.com)

Akan tetapi, karena belum banyak membela tim nasional Brasil, Departemen Tenaga Kerja Inggris memutuskan dia belum layak mendapat work permit (aturannya 70% dari total pertandingan). Oleh karena itu Arsenal melakukan bypass: Botelho akan dipinjamkan bermain di Liga Spanyol. Setelah beberapa waktu Botelho akan jadi warga Spanyol — mendapat visa EU — dan bebas bekerja di Inggris. (aturan naturalisasi: warga Brasil boleh mendaftar setelah 2 tahun menetap)

Saat ini, selewat tiga tahun di Spanyol, Botelho berusia 22 tahun. Permohonannya sedang diurus. Harapannya sebentar lagi dia mendapat kewarganegaraan Spanyol.

Botelho kemudian diproyeksikan bermain di Inggris. Apabila Botelho tetap di Arsenal sampai usia 28, maka dia berhak melamar jadi warga negara Britania Raya (aturan naturalisasi: 5 tahun tinggal menetap).

Apabila di umur 29 Botelho memutuskan pindah ke Liga Jerman dan menikah dengan wanita Jerman, maka dalam waktu 3 tahun dia bisa mendapat kewarganegaraan Jerman. (aturan naturalisasi: 3 tahun apabila mempunyai suami/istri lokal)

Jadi kesimpulannya, antara umur 18 hingga 35 — dari awal hingga senja karir bola — Botelho adalah warga negara Brasil yang berpotensi eligible untuk jadi warga negara Spanyol, Jerman dan Inggris. Tentu tidak semua mesti diambil. Akan tetapi ia dapat memilih satu (atau dua) dari empat kewarganegaraan yang potensial.

Let that sink in for a while.

***

Lalu kemudian saya teringat Boateng Bersaudara. Kevin-Prince dan Jerome memiliki ayah warganegara Ghana dan ibu Jerman. Di Piala Dunia 2010 mereka bertemu di lapangan, akan tetapi, masing-masing di tim yang berbeda: Kevin-Prince membela Ghana, sementara Jerome membela Jerman. Itu karena masing-masing mengacu pada ius sanguinis, tetapi lewat orangtua yang berbeda.

Ada lagi yang cukup unik: Enzo Zidane. Dia putra pemain legendaris Prancis Zinedine Zidane, akan tetapi, ibunya wanita Spanyol. Enzo lahir di Italia, besar di Madrid, sementara kakek-neneknya imigran Aljazair. Secara teknis dia eligible untuk membela tim nasional Prancis atau Spanyol. Hingga saat ini belum terdengar kabar pilihannya. Meskipun begitu, terdengar bahwa Spanyol berminat memanggilnya bermain di tim U-17.

Contoh terakhir, yang tidak usah jauh-jauh, saya ambil dari kejuaraan Piala AFF yang baru lalu. Saat itu Timnas Filipina diperkuat oleh pemain blasteran Inggris James dan Phil Younghusband. Sementara itu, Indonesia memiliki duet striker Irfan Bachdim (keturunan Belanda-Indonesia) dan Cristian Gonzales (naturalisasi lewat perkawinan).

Jadi, yang saya bingung sekarang adalah…

…sampai di manakah batasnya kewarganegaraan itu? Sebab kesannya kok kabur betul. 😆 Minimal di bidang sepakbola; apakah pembahasan “batas negara” itu masih relevan atau tidak? Dan seterusnya…

Saya pribadi berpendapat bahwa, pada kenyataannya, masyarakat dunia kita sedang melaju ke arah post-nationalism. Semakin ke sini jarak antara kita jadi makin menyempit — baik itu jarak budaya, sosial, maupun keturunan. Semua itu terjadi seiring kemajuan transportasi dan komunikasi. Di masa kini orang Brasil dapat jadi warga Spanyol; orang Uruguay masuk timnas setelah menikah dengan wanita Indonesia, dan seterusnya. Belum lagi yang blasteran seperti Irfan Bachdim dan Younghusband — secara otomatis mereka berhak memilih antara dua kewarganegaraan warisan orangtua. Hukumnya tentu saja lewat ius sanguinis.

Perenungan lewat sepakbola ini membuat saya bertanya, masihkah nasionalisme relevan? Di dunia yang isinya blasteran macam Bachdim, Younghusband, Kim Kurniawan; lalu warga negara naturalisasi seperti Gonzales, Botelho, dan Enzo Zidane — masihkah batas bernama “kewarganegaraan” itu penting?

Kalau iya memang penting, sampai di manakah batasnya kewarganegaraan itu? Nah ini pertanyaan yang susah dijawab. :mrgreen:

Saya sendiri lewat tulisan ini tak hendak menarik kesimpulan, melainkan melempar wacana saja. Saya adalah penikmat sepakbola; hobi saya menonton dan menganalisis. Meskipun begitu cukup menarik bahwa renungan semacam ini datangnya dari iseng-iseng berpikir tentang sepakbola. 🙂

Barangkali memang benar bahwa sepakbola itu miniatur kehidupan masyarakat?

 

Ps:

Saya teringat ketika final pertama Piala AFF baru selesai. Saat itu gosip merebak di Twitter bahwa striker Malaysia Mohd. Safee aslinya keturunan Aceh. Langsung saja sumpah-serapah bermunculan. 😆 Sementara itu sebelumnya, orang mengkritik Filipina karena banyak pemain naturalisasi; Singapura karena punya Aleksander Duric, sementara kita punya Irfan dan Gonzales…

Yes, this is related to the post above. Go figure. 😉

12 responses to “Sepakbola dan Permutasi Kewarganegaraan

  1. Amd Januari 4, 2011 pukul 11:06 pm

    *Melirik contoh pertama* Tulisan yang bias… *dikepruk Sora*

    IMHO, masalah kewarganegaraan sekarang ini lebih ke perkara administrasi dan ‘periuk nasi’. Dengan kepastian status seorang warga di negara tertentu, akan berimbas pada hak untuk bekerja atau melakukan usaha. Jaminan ini yang penting, karena sudah jadi hal yang lumrah toh, ada gula ada semut; negara yang relatif sedikit penduduknya sementara kekayaan berlimpah, orang jadi berebut menyambangi, sebaliknya, negara padat, dunia ketiga pula, miskin pula, korup pula pemerintahnya, rame-rame warganya eksodus demi masa depan yang lebih baik…

    Jadi, urusan nasionalisme, kebangsaan, patriotisme, dan jargon-jargon fasis lainnya, ntar dulu deh…

  2. lambrtz Januari 5, 2011 pukul 10:26 am

    ^

    negara yang relatif sedikit penduduknya sementara kekayaan berlimpah, orang jadi berebut menyambangi, sebaliknya, negara padat, dunia ketiga pula, miskin pula, korup pula pemerintahnya, rame-rame warganya eksodus demi masa depan yang lebih baik…

    *jlebbbbb*

  3. grace Januari 5, 2011 pukul 10:26 am

    hahaha, jadi inget kemarenan ngobrol sama temen yang keturunan Arab-indonesia, lama di arab tapi warga negara Indonesia, katanya “kalo ada ribut-ribut antara Malaysia dan Indonesia, saya ngaku orang Arab. Kalau ada tunjangan atau beasiswa dari Indonesia, saya ngaku orang Indonesia. Kalau ada yang menjelekkan Indonesia, saya bela Indonesia (mungkin kalo ributnya Malay vs Indo, dia males ikutan karena dia tinggal di Malaysia? entahlah.). Apalagi kalo ada dosen asal Indonesia, langsung ngaku Indonesia dong, mungkin aja nilai ditambah-tambah :lol:”
    nasionalisme yang membingungkan 😛
    .
    Btw, kunjungan pertama di blog ini, salam kenal. *halah* 😛

  4. sora9n Januari 5, 2011 pukul 1:33 pm

    @ Amd

    Haha, iya juga. Jadi memang prinsipnya ada gula ada semut ya. 😆

    bias

    Tidak ada itu bias; saya cuma mengambil contoh tim yang berbuat demikian. Yang pertama terlintas tentu saja langsung ditulis. 👿 *membela diri*

    :::::

    @ lambrtz

    BTW masbro… kalo mengikut pemikiran mas amed, banyak ilmuwan Indonesia ke luar negeri demi jaminan fasilitas dan research grant lho. 😛

    *nambah-nambahin jlebbb*

    :::::

    @ Grace

    Ya itulah makanya; kalau blasteran mestinya dianggap X sekaligus Y. Sebab memang susah menggolongkannya ke satu negara. 😛

    Salam kenal juga mbak Grace… 😳

  5. jensen yermi Januari 5, 2011 pukul 6:13 pm

    salam kenal! 😛

    Nasionalisme gak penting, yang penting prestasi! Timnas kita butuh playmaker dan centre back naturalisasi! *aspirasi* 😆

  6. Ando-kun Januari 5, 2011 pukul 7:30 pm

    Kalau anda blasteran, anda bisa milih waktu secara bebas untuk kapan jadi Dr. Jekyl atau malihrupa jadi Mr. Hyde, tergantung sikon.
    secara Irfan dan Kim dipandang keroco di eropa, tapi jadi Dr. Jekyl di Indonesia

  7. sora9n Januari 5, 2011 pukul 7:45 pm

    @ jensen

    salam kenal! 😛

    Hus! :mrgreen:

    Timnas kita butuh playmaker dan centre back naturalisasi! *aspirasi* 😆

    Kalau untuk playmaker, sedikit-banyak terobati lah. Minimal ada Firman/Eka/Bustomi. Sementara yang dicetak tebal… wallahu alam deh. 😆

    *orang yg frustrasi nonton permainan DF sebulan kemarin*

    :::::

    @ Ando-kun

    Hus, Anda ini jangan bicara begitu. Kita tahu itu rahasia umum lah… (ninja)

    BTW, masbro ada video penampilan Irfan/Kim di Eropa ndak? Penasaran juga pingin lihat penampilan mereka dengan lawan tangguh. :-/

  8. lambrtz Januari 5, 2011 pukul 7:58 pm

    ^
    Di video ini, no 7 baju merah hitam Irfan bukan? 😕

    PS: never mind the comments 😛

  9. sora9n Januari 5, 2011 pukul 9:43 pm

    *nonton video*

    Uh, well… biarpun secara teknis itu Liga Belanda, kualitas DF-nya kok ancur-ancuran ya? Irfan-nya juga nggak terlihat istimewa sih. ^^;;

    *IMHO*

    PS: never mind the comments 😛

    Iyalah. Youtube gitu loh~ :mrgreen: 😆

  10. Ando-kun Januari 8, 2011 pukul 12:20 pm

    Sekedar mengingatkan kalau dlm video youtube itu, klub yg dibela Irfan adalah HFC Haarlem yang waktu itu masih berkutat di Eerste Divisie, bukan Eredivisie tuh.
    Wajar aja lah kualitas pemainnya nggak kayak Ajax vs PSV Eindhoven, liga kelas dua belanda sih.

  11. Pingback: Hal-hal yang mendorong saya jadi internasionalis… « ZENOSPHERE

  12. Pingback: Let’s Talk About Football « ZENOSPHERE

Posting komentar. Apabila tidak muncul, ada kemungkinan tersaring filter spam. Harap tunggu pemilik blog untuk mengecek dan melepaskan.