ZENOSPHERE

science, philosophy, and cultural menagerie

Category Archives: History

Masa Kejayaan dengan Banyak Pengaruh

Beberapa waktu sekali, jika sedang ngobrol dengan teman yang Muslim konservatif, muncul topik tentang “masa keemasan Islam”. Bukan berarti mereka radikal, sih — orangnya moderat saja, namun karena satu dan lain hal merasa punya identitas keagamaan yang kuat. Jadinya suka berkaca dan membandingkan dengan masa lalu.

Permasalahannya tentu, apakah klaim “masa keemasan” itu valid atau tidak? Nah ini yang perlu ditelusuri. Periode yang dimaksud adalah sekitar abad ke-9 hingga 12 Masehi, di mana kekuasaan Khilafah Abbasiyah mencapai puncaknya, dan menghasilkan kemajuan sains, teknologi, dan budaya.

Kaum Muslim yang religius, apalagi yang jarang baca sejarah, biasanya gampang terpancing klaim di atas. Seolah-olah semua kejayaan itu berasal murni dari Islam; tidak ada sumbangan kebudayaan lain. Kenyataan sebenarnya agak lebih rumit. Sebagaimana pernah diuraikan dalam posting tentang alkimia zaman dulu: warisan ilmiah Islam merupakan campur-baur Yunani, Romawi, India, dan Persia.

Oleh karena itu, sebagai orang yang kebetulan cukup sering baca tentang sejarah ilmu, ada baiknya kalau saya berbagi sedikit lewat posting ini. Di satu sisi, betul bahwa Islam Abbasiyah mempunyai kemajuan ilmiah yang mumpuni. Namun di sisi lain kemajuan itu dibangun oleh kontribusi lintas bangsa dan budaya.

Klik untuk melanjutkan »

Pemuda Sederhana Naik Tahta

Pada tahun 161 Masehi, Imperium Romawi tengah berjaya di seantero Eropa, membujur dan melintang berpusat di Italia. Batas baratnya Semenanjung Iberia, yang di masa kini wilayah Spanyol dan Portugis. Di ujung timurnya Jazirah Arab dengan kota besar Palmyra dan Antioch, berbatasan dengan Persia. Dengan armada kapalnya mereka menyeberang laut, sedemikian hingga setelah berabad-abad, Inggris yang dingin hingga Mesir yang terik ikut jatuh ke tangan mereka.

Imperium Romawi — bisa ditebak — adalah bangsa penakluk tanpa ampun. Di laut mereka jaya, dan di darat mereka menggila. Bahkan seluruh Laut Mediterania mereka lingkupi. Dari pantai Gibraltar ke Italia, hingga Balkan dan Asia, juga sisi seberangnya di Afrika Utara: semua milik Romawi.

Mare Nostrum, begitu bangsa Romawi menyebut Laut Mediterania. Dalam bahasa Latin berarti “Laut Kami”. Zaman dulu banyak peradaban kuno menyisirinya, namun sekarang semua milik Kaisar.

[img] Roman Map around time of Antoninus

Peta wilayah Romawi sekitar tahun 161 M

(adapted from: Wikimedia Commons)

Dengan konteks seperti itu, wajar jika dalam sejarah banyak orang ingin jadi Kaisar, bahkan jika perlu saling membunuh. Meskipun begitu selalu ada pengecualian.

Ketika Marcus Aurelius naik tahta, dia melakukan terobosan radikal: menunjuk saudara angkatnya, Lucius Verus, sebagai Kaisar Pendamping. Untuk pertama kalinya Imperium Romawi dipimpin oleh “Kaisar Kembar” — di mana yang satu berdiri setara dengan yang lain.

Secara resmi Marcus mengambil nama gelar “Imperator Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus”, sementara Lucius “Imperator Caesar Lucius Aurelius Verus Augustus”.

[img] Marcus Aurelius & Lucius Verus

Dua Kaisar Romawi: Marcus Aurelius (kiri) dan Lucius Verus (kanan)

(image credit: Wikimedia Commons [1], [2])

Untuk dicatat, dalam sejarah Romawi terdapat beberapa Kaisar yang menunjuk dua pewaris untuk naik tahta bersama, tapi tidak pernah terwujud. Meskipun begitu yang dilakukan Marcus tetap spesial, sebab dia sendiri yang membagi tahta miliknya.

Peristiwa ini jelas mengejutkan. Alih-alih merengkuh tahta seperti umumnya para raja, Marcus justru enggan dan berbagi. Pertanyaannya adalah, mengapa?

Klik untuk melanjutkan »

The Mathematical Nightingale

Florence Nightingale (1820-1910) adalah pelopor ilmu keperawatan dan emansipasi wanita di Inggris. Mengenai hal ini sudah banyak diceritakan. Melalui usaha dan kerja kerasnya ia mendirikan sekolah keperawatan yang pertama di dunia; mendorong reformasi kesehatan dan sanitasi di Inggris dan India; dan lain sebagainya.

[img] Florence Nightingale

Florence Nightingale sekitar tahun 1854

(image credit: Wikimedia Commons / British Library)

Ada sebuah legenda yang charming tentang beliau. Konon sebagai Suster Kepala, Florence rutin mengecek bangsal tiap malam, membawa lampu tenteng sebagai penerangan. Cerita ini menginspirasi julukan Lady with the Lamp, yang lalu dijadikan puisi oleh Henry Wadsworth Longfellow.

Thus thought I, as by night I read
Of the great army of the dead,
The trenches cold and damp,
The starved and frozen camp,—

The wounded from the battle-plain,
In dreary hospitals of pain,
The cheerless corridors,
The cold and stony floors.

Lo! in that house of misery
A lady with a lamp I see
Pass through the glimmering gloom,
And flit from room to room.

 
(Longfellow, “Santa Filomena”, 1857)

Begitu positifnya reputasi beliau, sampai-sampai ulang tahunnya dijadikan Hari Perawat Sedunia. Dengan berbagai cara sosoknya dianggap simbol kebaikan yang — kalau boleh dibilang — bersifat larger than life.

Menariknya, biarpun dicitrakan begitu, ada juga sisi lain beliau yang praktis dan ilmiah: Florence Nightingale adalah pelopor penerapan statistik di bidang sosial. Bukan cuma numpang lewat, melainkan sampai diakui oleh para ahli di zamannya. Sedemikian hingga di tahun 1858, beliau dilantik menjadi anggota Royal Statistical Society, dan di tahun 1874, menjadi anggota kehormatan American Statistical Association.

Bisa dibilang bahwa ibu yang kita bicarakan ini bukan cuma baik, tapi juga pintar.

Klik untuk melanjutkan »

Pedang Damocles, Racun Mithridates

Di dunia Yunani Kuno, terdapat sebuah kisah semi-legenda yang disebut “Pedang Damocles”. Disebut semi-legenda karena melibatkan tokoh sejarah, meskipun demikian tidak jelas apakah benar-benar pernah terjadi. Ceritanya disampaikan oleh Cicero, anggota senat sekaligus orator besar Republik Romawi.

Syahdan, Penguasa Syracuse Dionysius II dikenal sebagai pemimpin yang lalim. Meskipun demikian dia mempunyai kekuasaan yang hebat: Syracuse di masa itu adalah kota pelabuhan yang terletak antara Yunani, Italia, dan Afrika Utara. Lokasi yang strategis, ditambah arus perdagangan yang ramai, membuat perannya sangat penting di kancah politik-ekonomi Mediterania.

Oleh karena itu, wajar jika banyak orang menganggap jadi Penguasa Syracuse berarti hidup senang. Salah satu yang berpikir seperti itu adalah Damocles — pelayan Dionysius di Istana Syracuse. Dalam satu kesempatan dia memuji Raja sebagai orang paling beruntung di dunia.

Mendengar ini Raja lalu bertanya: jika benar demikian, maukah Damocles mencoba sehari menjadi raja?

Singkat cerita Damocles mengiyakan. Dengan segera dia didandani pakaian mewah dan didudukkan di singgasana. Makanan pun disiapkan untuknya. Namun anehnya Raja belum selesai.

Tepat di atas singgasana Raja menggantungkan sebilah pedang — dihubungkan ke langit-langit oleh sehelai rambut ekor kuda. Kemudian Raja bersabda bahwa Damocles akan dilayani sepuasnya, asalkan dia tetap duduk di singgasana.

[img] Sword of Damocles by Richard Westall (1812)

Damocles duduk di singgasana Raja
(lukisan karya Richard Westall, 1812)

(image credit: Ackland Art Museum)

Klik untuk melanjutkan »

Mesin Kalor dari Alexandria

Di dunia sehari-sehari, kita terbiasa melihat mesin. Mulai dari mobil, motor, hingga yang berskala besar seperti pabrik. Namanya mesin tentu bisa bergerak dengan sendirinya. Ada yang menggunakan tenaga bensin, tenaga solar, hingga yang agak lawas seperti tenaga uap.

Nah, dalam dunia fisika, berbagai mesin di atas termasuk dalam keluarga mesin kalor. Mesin kalor adalah mesin yang bekerja dengan prinsip pemanasan dan pembakaran. Apabila mesinnya menyala, suhunya akan meningkat, lalu suhu yang tinggi itu dikonversi menjadi energi gerak.

Sebagai contoh mesin motor dua tak. Mesin ini bergerak dengan tenaga bensin. Sebuah kompartemen akan dipenuhi uap bensin, lalu uap itu dipantik menggunakan busi. Dalam sekejap timbul letupan: uap bensinnya terbakar, suhunya jadi meningkat, kemudian udara dalam mesin memuai dengan cepat. Pemuaian-mendadak ini menghasilkan energi berupa tekanan; tekanan itu lalu dipakai untuk menggerakkan mesin.

[animasi mesin 2-tak]

Animasi mesin dua tak. Di bagian atas busi memantik uap, memicu pergerakan mesin.

(image credit: Wikimedia Commons)

Nah, kira-kira demikian contoh penerapan mesin kalor. Mesin kalor adalah mesin yang mengubah energi panas menjadi gerak. Tidak peduli bahan bakarnya uap, bensin, atau solar — asalkan memakai pemanasan dan pemuaian, maka termasuk mesin kalor.

Biasanya, kalau kita mendengar istilah “mesin”, yang terbayang adalah kesan modern. Seolah-olah cuma ada di abad perindustrian. Meskipun demikian mesin kalor sebenarnya sudah sangat tua. Prinsipnya sudah diketahui jauh sebelum Revolusi Industri. Seberapa jauhnya? Well…

Sebagian pembaca mungkin akan terkejut, akan tetapi mesin kalor sudah ada di Yunani abad pertama Masehi. Atau dalam istilah sejarahnya, Periode Hellenistik.

Mengenai mesinnya sendiri cukup banyak dan bervariasi. Salah satu di antaranya, yang cukup fenomenal, adalah mesin uap sederhana buatan Heron dari Alexandria. Dapat dibilang bahwa peradaban Yunani zaman itu telah memahami dasar-dasar keteknikan.

Klik untuk melanjutkan »

Jejak Langkah Prometheus Amerika

Alamogordo, terletak di negara bagian New Mexico, Amerika Serikat, bukan sebuah kota besar. Meskipun demikian itu tidak membuatnya gagal terlibat dalam sejarah.

Pada tanggal 12 Juli 1945, sebuah gurun di wilayah itu terpilih jadi situs uji ledak bom atom pertama di dunia. Ujicoba itu diberi nama “Trinity“. Detik-detik yang menentukan terjadi menjelang subuh: hampir saja acara dibatalkan, sebab badai petir tak kunjung usai. Meskipun begitu cuaca akhirnya kondusif, dan percobaan jalan terus.

Tepat pukul 5:30 pagi, seberkas kilat muncul di cakrawala, terlihat hingga 200 kilometer jauhnya. Cahaya putih memenuhi langit. Udara mendidih. Pasir melepuh berubah menjadi kuarsa. Satu menit kemudian: bunyi ledakan maha dahsyat menyebar, bersama dengannya membawa debu, tanah, dan berbagai serpihan hewan dan tumbuhan. Udara terionisasi membentuk awan ungu. Petir terlontar susul-menyusul. Letusan bom atom pertama sudah terjadi — dan begitu mengerikan.

Inilah ujicoba Trinity, buah dari megaproyek milyaran dolar bernama “Proyek Manhattan“. Sepanjang periode 1942-1945, ribuan personel sipil dan militer berkejaran dengan waktu, berharap agar mereka tidak kalah cepat dari Nazi Jerman. Sebagaimana dicatat sejarah, mereka berhasil. Kesuksesan Trinity sekaligus menandai dimulainya era energi nuklir.

Reaksi yang sebelumnya hanya ada di matahari dan bintang kini terwujud di bumi. Manusia telah mampu mengolah energi atom.

Trinity Test Explosion

Bola api Trinity, 0.05 detik sesudah ledakan

(photo credit: Atomic Archive)

Meskipun demikian, layaknya penemuan besar, Trinity tidak datang — dan pergi — tanpa kontroversi. Dia dilahirkan oleh para pemikir paling cemerlang semasa Perang Dunia II. Ironisnya adalah bahwa banyak di antara mereka, para ilmuwan itu, justru kecewa dan menolak berurusan dengannya. Termasuk di antaranya sosok yang akan jadi tema tulisan kali ini.

Ibaratnya Trinity seperti bayi terlahir sungsang. Dia dibutuhkan sebagai senjata perang, akan tetapi, dia sulit mendapat tempat di dunia yang damai. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

Klik untuk melanjutkan »

Di Tengah Samudra Bintang

Pada tahun 1584, seorang pastor pengembara bernama Giordano Bruno mengumumkan sebuah ide spektakuler, kalau tidak boleh dibilang amat-sangat radikal. Baru empat dekade lewat sejak Nicolaus Copernicus menerbitkan gagasan bumi bergerak mengelilingi matahari, menimbulkan perdebatan intelektual di seluruh Eropa. Meskipun demikian Bruno melangkah lebih jauh: meneruskan pendapat bahwa Planet Bumi tidak istimewa, melainkan sekadar satelit mengelilingi matahari, Bruno menyatakan bahwa terdapat milyaran bintang mirip-matahari di alam semesta, dan masing-masing mempunyai planet yang mengitarinya.

Ide itu dipaparkan dalam buku berbahasa Italia, De l’infinito universo et mondi, dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi On the Infinite Universe and Worlds.

Thus is the excellence of God magnified and the greatness of his kingdom made manifest; he is glorified not in one, but in countless suns; not in a single earth, a single world, but in a thousand thousand, I say in an infinity of worlds.

 
(Waller, 1950; cetak tebal ditambahkan)

Sebagaimana bisa dilihat gagasan Bruno amat melampaui zaman. Belum lama Copernicus menyatakan matahari sebagai pusat, kemudian muncul pendapat bahwa tatasurya ada banyak. Lebih jauh lagi hal itu dihubungkan dengan kebesaran Tuhan. Otomatis, sepak-terjang Bruno menimbulkan kontroversi.

Siapa itu Bruno, dan mengapa ia begitu berani?

Giordano Bruno - statue

Giordano Bruno (1548-1600)

(gambar diolah dari Wikipedia)

Klik untuk melanjutkan »

Tentang Alkimia dan Bapak Jabir

Semenanjung Arabia, abad kedelapan Masehi, boleh dibilang tempat dan waktu yang menarik. Pada masa ini Kekaisaran Romawi mulai lemah dan runtuh, kekuasaannya tinggal bersisa di wilayah Timur. Sementara di Asia Barat Islam sedang tumbuh pesat. Sambil lalu pun sudah terlihat bahwa ini masa transisi geopolitik. Meskipun demikian, untuk tulisan kali ini, kita akan fokus pada dampaknya yang terkait ilmiah.

Sebagaimana umum diketahui, tidak ada negara adidaya yang tidak didukung ilmu pengetahuan. Begitu juga halnya dengan Romawi. Selama berabad-abad Romawi telah menampung ilmu pengetahuan Yunani dan Mesir Kuno, sedemikian hingga mereka mempunyai kemajuan teknik yang mumpuni. Mulai dari arsitektur, pembuatan saluran air, hingga larutan semen dan gelas kaca sudah mereka kuasai. Semua pengetahuan itu kemudian tercermin lewat peninggalan arkeologi. (Taylor, 1957)

botol kaca romawi, courtesy metmuseum

Contoh kemajuan teknologi Romawi: Botol kaca, dari abad ketiga Masehi

(courtesy Metropolitan Museum of Art)

Klik untuk melanjutkan »

The Wibbly-wobbly Tapestry of Being Human

— Tulisan bersifat umum untuk menandai kembali ngeblog

 
Ada sebuah buku yang, kalau saya boleh jujur, berperan sangat besar membentuk diri saya yang sekarang. Bukunya sendiri terbitan tahun 1983, jadi secara umur, masih lebih tua daripada saya. Membayangkannya saja membuat saya rikuh — jadi merasa kecil di tengah perjalanan waktu, begitu. But I digress.

Anyway, yang saya maksud di sini adalah sebuah pengantar filsafat, yang sampulnya bisa Anda lihat di bawah ini.

manusia-multi-dimensional-cover

“Manusia Multi Dimensional”, kumpulan esai terbitan Unika Atmajaya

Klik untuk melanjutkan »

Galois, Matematikawan di Tengah Revolusi

Kota Paris biasanya terkesan sebagai latar kisah romantis, meskipun demikian, hal itu tidak berlaku di pagi hari 30 Mei 1832. Di sebuah lapangan, seorang pemuda 20 tahun ditemukan terkapar, bersimbah darah, dengan luka tembak di bagian perut. Entah apa yang melatarinya. Oleh warga yang menemukannya, pemuda tersebut kemudian dibawa ke rumah sakit.

Sayangnya malang tak dapat ditolak. Hanya selang satu hari, si pemuda kemudian meninggal. Pada tanggal 31 Mei ia menghembuskan nafas terakhir. Tidak banyak yang menyadari bahwa, di hari itu, Prancis kehilangan seorang putra terbaik.

Pemuda itu, yang tidak dihargai sepantarannya, adalah seorang cerdas cendekia. Aktivis politik radikal, pembela Revolusi Prancis, dan matematikawan kelas tinggi. Sosok jenius yang neurotik, romantis tapi keras kepala, dan idealis sampai akhir — pemuda itu bernama Évariste Galois.

Evariste Galois

Évariste Galois (1811-1832)

(via Wikipedia)

Beberapa orang mungkin asing dengan namanya. Siapa itu Galois, dan mengapa ia disebut jenius? Mengenai hal ini ada ceritanya lagi, dan akan kita singgung nanti. Untuk sementara cukuplah dikatakan bahwa dia membuka cakrawala baru di dunia matematika, yaitu, melalui temuan besarnya: Teori Galois.

Klik untuk melanjutkan »