ZENOSPHERE

science, philosophy, and cultural menagerie

“Mengintip” Hakikat Lewat Nasrudin Hoja

    Catatan: Referensi untuk kisah Nasrudin tersedia di bagian akhir tulisan

 

Sepanjang sejarah dunia, ada banyak tokoh yang diceritakan sebagai “tukang bercanda” — atau kalau boleh dibilang, “tidak pernah serius”. Mengenai hal ini ada banyak contohnya. Misalnya, di Jerman terdapat Till Eulenspiegel. Kalau di Arab yang terkenal Abu Nawas, sementara di budaya Yahudi Hershel Ostropol. Orang-orang semacam ini digambarkan hobi mengusili masyarakat sekitar. Saking hobinya, sedemikian hingga mencapai status legendaris… oleh karena itu tidak heran jika di masa kini pun banyak kisah diceritakan tentang mereka.

Nah, salah satu sosok “tukang bercanda” yang masuk dalam sejarah itu adalah Nasrudin Hoja. Beliau digambarkan sebagai guru Sufi yang hidup di Turki pada abad 13 Masehi. 😀

nasruddin hodja

Nasruddin Hoja digambarkan sedang menunggang keledai

(via Wikipedia)

Mengenai Nasrudin sendiri ceritanya agak unik. Syahdan, sebagai seorang sufi, masyarakat memandang dirinya punya kepahaman agama. Meskipun begitu, ini tidak berarti dia benar-benar dihormati masyarakat. Justru sebaliknya: Nasrudin adalah orang yang amat sering dikerjai — dan balik mengerjai — lingkungan sekitarnya. Baik itu secara verbal maupun fisik. Pada akhirnya hal itu membuat Nasrudin dapat reputasi sebagai “orang yang tak pernah serius”.

Akan tetapi, apakah Nasrudin itu orangnya sekadar usil? Jawabannya… tidak juga. :mrgreen: Galibnya seorang guru, keusilan yang dilakukan Nasrudin sering mengandung pesan tersirat. Banyak di antara humornya nyerempet metafisika dan hakikat yang digeluti kaum Sufi. Boleh dibilang bahwa kisah Nasrudin sebenarnya mempunyai muatan filosofis yang dalam.

Sebagai contoh, tidak semua hal itu seperti yang “tampak di luarnya” — topik ini berulangkali ditekankan oleh humor Nasrudin. Lebih jauh lagi: bahwasanya persepsi itu rancu, dan bahasa sering tidak cukup untuk menjelaskan kenyataan! 😯

Nah loh, bingung kan? 😆 Seperti apa ceritanya, akan segera kita lihat di bawah ini. Here goes…

 
Sang Hoja dan Hakikat

 
Sebagaimana sudah disebut, salah satu concern yang dibahas dalam cerita Nasrudin adalah tentang persepsi. Bahwasanya orang sering terpaku pada “sisi luar” suatu benda. Sementara esensinya, hal yang harusnya jadi fokus, justru tidak tersentuh. Mengenai hal ini biasanya diparodikan lewat kelakuan sang guru.

Salah satu kisah Nasrudin menjelaskan ketika ia bertemu tetangga di pasar.

“Mullah, Anda tampak memar-memar! Ada apa, apa yang terjadi?”

“Istriku sedang marah tadi malam. Semua pakaian dan isi lemari dilempar!”

“Tapi itu kan cuma pakaian?”

“Masalahnya aku sedang memakai bajuku…”

Di sini kita melihat bagaimana Nasrudin mencampurkan antara “baju” dan “orang yang memakai”. Sekilas logikanya benar: (1) bahwa semua baju dilempar, (2) termasuk semua baju milik Nasrudin, dan (3) bahwa yang dipakai Nasrudin malam itu adalah baju miliknya. Oleh karena itu: Nasrudin pun ikut dilempar! :mrgreen:

Akan tetapi bagi orang keseharian, sepertinya ada yang aneh. Kalau baju dilempar, kenapa dia yang terluka, atau sebagainya. Padahal sebenarnya tidak. Dengan satu atau lain cara, humor Nasrudin menunjukkan suatu bug yang terdapat dalam cara berpikir kita.

What is Nasrudin’s cloth without Nasrudin? Nah, ini pertanyaan yang susah untuk dijawab. 😉

***

Contoh lain tentang keluguan Nasrudin yang profound juga terdapat dalam kisah berikut. Ceritanya terjadi di malam hari, ketika Nasrudin menjelang tidur.

Mullah Nasrudin, mendengar suara berisik dalam rumah, memutuskan untuk mengintip. Dilihatnya seorang pencuri sedang memasukkan barang-barang ke dalam kantong, hampir semua sudah disikat.

Tak berapa lama si pencuri memutuskan kabur. Nasrudin mengikuti berjingkat-jingkat di belakangnya.

Sampai beberapa kilometer masih mengikuti… akhirnya si pencuri sadar kehadiran Nasrudin.

“Hei! Kenapa kamu mengikutiku!”

Mullah, dengan tampang terkejut: “Lho, kita kan sedang pindah rumah!”

Tentunya di sini timbul pertanyaan: kenapa Nasrudin menjawab seperti di atas?

Untuk mudahnya, coba kita bayangkan seperti berikut. Di dalam rumah ada dua orang pria, yang satu pemilik rumah. Sesudah selesai membuntel barang, mereka berdua pergi jalan kaki. Kira-kira, situasi apa yang sedang berlangsung?

Bagi orang yang tidak tahu apa-apa, tentu saja jawabannya intuitif: Mereka sedang pindah rumah! Lihat saja tuan rumah mengawasi di belakang, tidak marah. Lalu mereka jalan berdua sesudahnya. Jadi tidak mungkin itu tindak kriminal. Kan begitu? :mrgreen:

Sejatinya, ketika menjawab “kita sedang pindah rumah”, Nasrudin sedang menyiratkan bahwa tampaknya memang seperti itu. Manusia menilai sesuatu sering mengacu pada luarnya. Tampaknya seperti ini, tampaknya seperti itu. Sementara peristiwa aslinya… boleh jadi amat berbeda.

Di sini Nasrudin menunjukkan bahwa citra yang tampak itu superfisial. Apabila citranya dimanipulasi, maka melesetlah kesimpulannya. Hakikat sesuatu hal belum tentu sama dengan kelihatannya — ini dia hal yang penting. 🙂

Mirip cerita sebelumnya, humor Nasrudin di sini menunjukkan adanya bug dalam pemikiran kita sehari-hari. Ternyata memahami hakikat itu rumit! :mrgreen:

 
Sang Hoja dan Kesempurnaan
 

Sebagaimana telah diuraikan di atas, Nasrudin adalah sosok yang menyerang superfisialitas. Orang sering terpaku pada ide akan sesuatu hal — alih-alih pada hal yang sedang dibicarakan. Pada akhirnya mereka jadi terjebak dengan deskripsi. Melulu bermain kata, persepsi, dan ide. Sementara pokok bahasan aslinya justru terlupa.

Sebagai contoh misalnya tentang kesempurnaan. Kita punya banyak ide bagaimana agar dunia itu “sempurna”. Akan tetapi, apakah pendapat itu valid? Seringnya sih kesempurnaan versi kita itu sifatnya superfisial. 😛

Mengenai hal ini tidak luput dari sindiran Nasrudin.

Mullah Nasrudin sedang beristirahat di bawah pohon ceri, mengamati alam sekitar.

“Aku tahu Allah Maha Sempurna,” gumam Nasrudin. “Tetapi kenapa kok pohon ceri begini besar buahnya kecil? Sementara tanaman labu buahnya besar, tapi pohonnya kecil.”

Tenggelam dalam pikiran, Mullah tertidur di bawah pohon. Tiba-tiba saja ada buah ceri jatuh — langsung menimpa kepala sang Mullah!

“Allah Maha Besar!” teriak Nasrudin, terbangun sambil gagap. “Bayangkan seandainya buah labu jatuh dari pohon, menimpa kepalaku! Pasti aku sudah tewas!”

Lewat kisah di atas, kita melihat bahwa Nasrudin mengupas gagasan “kesempurnaan” yang dangkal. Apakah “kesempurnaan” itu? Tidak lain sekadar pikir-pikiran manusia. Bahwa sesuatu itu harusnya begini-atau-begitu. Sementara di sisi lain, dunia terus berjalan, dan siap membalikkan asumsi-asumsi.

Masalahnya akal manusia itu terbatas — banyak hal yang sering terlewat dari perhitungan. Oleh karena itu, sungguh naif kalau kita merasa bisa menyempurnakan dunia. Bagaimana bisa menyempurnakan dunia kalau pandangan kita saja tak sempurna? 😕

Cerita lain memiliki tema yang mirip, tetapi situasinya dibalik:

Suatu sore Mullah Nasrudin sedang mengobrol dengan sang istri.

“Hari ke hari, aku makin kagum pada penciptaan alam. Semua selaras untuk kesejahteraan manusia.”

“Contohnya?”

“Aku bersyukur unta tidak punya sayap.”

“Apa untungnya itu bagi kita?”

“Coba pikirkan! Kan bisa saja mereka mendarat di atap rumah, lalu tak peduli dengan kerusakan yang mereka timbulkan.”

Apabila cerita sebelumnya mengetengahkan komplain akan what is, maka yang kali ini mengetengahkan kepuasan. Alam ini sudah perfect, demikian simpul Nasrudin. Dan itu cukup — coba saja bayangkan kalau unta punya sayap! :mrgreen:

Akan tetapi, benarkah demikian? Kalau dipikir lagi, sebenarnya tidak juga. 😛 Taruhlah seandainya benar ada unta bersayap. Kan justru bisa memudahkan perjalanan? Barangkali dari Turki, Nasrudin bisa pergi haji naik unta terbang. Bisa juga unta bersayap itu dipakai untuk menyebarkan zakat. Atau barangkali untuk bantu bela negara. Jadi ada potensi yang terlihat di situ. Walaupun memang bakal repot sekali kalau mesti mengurusi unta terbang — bagaimana pula membersihkan kotorannya? 😐

Akan tetapi, masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah kalau kita berusaha mengotak-ngotakkan alam semesta menurut persepsi kita. Sebagaimana telah disebut sebelumnya: alam semesta selalu siap membalikkan asumsi-asumsi. Kesalahan kita adalah kalau kita terlalu terpaku pada asumsi. Sedemikian hingga jadi lupa bahwa yang dunia dibicarakan itu… ya tidak peduli. Jalan terus. Indifferent.

Dan memang terjebak dalam asumsi itu berbahaya. Mengenai hal ini Mullah Nasrudin punya cerita lagi yang bisa direnungkan. 😉

Dalam suatu majelis, seorang jamaah bertanya ke Mullah Nasrudin.

“Mullah, apa itu nasib?”

“Nasib itu asumsi-asumsi.”

“Maksudnya?”

“Begini,” Nasrudin menatap si jamaah dengan serius. “Kalau kamu berasumsi suatu kejadian baik akan terjadi, tapi tidak terjadi — kamu menyebutnya ‘nasib buruk’. Kalau kamu berasumsi kejadian buruk akan terjadi, tapi tidak terjadi — kamu menyebutnya ‘nasib baik’.

“Kamu berasumsi hal-hal X dan Y akan terjadi, tapi kamu tidak tahu masa depan — kalau kamu salah tebak, maka kamu menyebutnya ‘nasib’.”

Jadi, yah, begitulah… 😆

 
Penutup: Sang Guru Sufi Nyeleneh
 

Bahwa Nasrudin itu sosok yang unik, barangkali susah untuk disangkal. Benar bahwa ia adalah seorang guru. Meskipun begitu, kalau orang mengikuti sepak-terjangnya, barangkali akan ragu: Dalam kebodohannya ia menyembunyikan kepintaran; dalam kepintaran ia menunjukkan kebodohan. Boleh dibilang bahwa Nasrudin merupakan perwujudan sosok wise fool.

Beberapa pembaca mungkin agak terganggu membaca deskripsi di atas. Bagaimanapun memang penuh dengan oksimoron. Ini bukan karena saya ingin membuat Anda bingung — masalahnya, amat susah untuk mendeskripsikan Nasrudin tanpa berbelit. Sebab memang yang dibicarakan oleh beliau sifatnya di luar logika.

Itu bukan berarti Nasrudin itu anti-logika, tentu. Sebagaimana sudah kita uraikan, kisah Nasrudin itu logis. Hanya saja logika di situ lebih berperan sebagai pengantar. Intinya sendiri bukan pada deskripsi — melainkan pada hakikat. What is between the line? What is beyond context? Itu dia masalah yang pentingnya. 😉

Terkadang, lewat anekdot yang naif, bisa muncul insight filosofis mendalam. Atau bisa juga sebaliknya: anekdot yang cerdas sekalipun bisa saja dipersepsi sebagai kebodohan. Di sinilah peran Nasrudin Hoja, sebagai seorang guru, selalu aktif membantu kita.

Jangan heran kalau suatu saat nanti seolah ada lampu menyala dalam benak, lalu mendadak kita terheran-heran sendiri: Wait, what the hell was I doing! It’s not paradox; it’s not even dichotomy! Yang semacam ini susah untuk dijelaskan. Harus dialami sendiri supaya bisa mengerti! :mrgreen:

And, with that signoff note…

“That, of course, is the great secret of the successful fool — that he is no fool at all.”

~ Isaac Asimov
(dalam “Asimov’s Guide to Shakespeare”, Volume II)

 

 
——

Referensi Kisah Nasrudin:

    (buku)

  • Borrow, George. 1884. The Turkish Jester. Ipswich: W. Webber
    (tersedia di Project Gutenberg)
  • Owadally, M.Y. (terj.). 2003. Parodi Sufi: Nasruddin Hodja, Surat Ke Baghdad. Bandung: Nuansa
  • Shah, Idries (terj.). 2000. Humor Sufi 1-3. Jakarta: Pustaka Firdaus

15 responses to ““Mengintip” Hakikat Lewat Nasrudin Hoja

  1. nindityo Mei 25, 2011 pukul 10:11 pm

    cerita sebagus apapun kalo yang membaca dan mendengarnya tidak punya kemampuan cukup untuk mencernanya akan sia-sia mas.. 🙂

  2. sora9n Mei 25, 2011 pukul 10:33 pm

    @ nindityo

    Ada benarnya sih. Saya juga baru belakangan lebih bisa mencerna — terutama sesudah baca-baca mistisisme. Waktu SMP/SMA dulu, ya, kesannya cuma sekadar lucu. ^^;

    *faktor kematangan juga kali ya*

  3. dodo Juni 1, 2011 pukul 1:58 am

    saya pernah denger kata2 gini mas, hanya orang cerdas yang bisa mendeteksi kecerdasan orang lain. Mungkin selaras dengan apa yang dibahas disini

  4. sora9n Juni 1, 2011 pukul 9:29 am

    @ dodo

    Itu juga betul. 😉 Walau dengan catatan, namanya kecerdasan itu selalu bisa dilatih.

  5. Takodok! Juni 4, 2011 pukul 1:03 pm

    Dalam suatu majelis, seorang jamaah bertanya ke Mullah Nasrudin.

    “Mullah, apa itu nasib?”

    “Nasib itu asumsi-asumsi.”

    “Maksudnya?”

    “Begini,” Nasrudin menatap si jamaah dengan serius. “Kalau kamu berasumsi suatu kejadian baik akan terjadi, tapi tidak terjadi — kamu menyebutnya ‘nasib buruk’. Kalau kamu berasumsi kejadian buruk akan terjadi, tapi tidak terjadi — kamu menyebutnya ‘nasib baik’.

    “Kamu berasumsi hal-hal X dan Y akan terjadi, tapi kamu tidak tahu masa depan — kalau kamu salah tebak, maka kamu menyebutnya ‘nasib’.”

    Saya paling sering dengar/baca yang ini. Dan juga agak takjub pas liat buku Hoja for kids. Wah.. menyenangkan sekali diperkenalkan cerita macam ini sejak dini. Rasanya ga masalah sih kalo pembacanya baru sampai taraf tertawa karena lucu. Toh filosofi yang tertangkap selaras dengan pengalaman yang sudah dia alami, seperti kata Sora 😀

    Btw, nafsu menulisnya belum timbul ya? Hampir seminggu ini.

  6. sora9n Juni 4, 2011 pukul 1:26 pm

    @ Takodok!

    Dan juga agak takjub pas liat buku Hoja for kids.

    He? Ada buku Hoja for Kids? 😮 Yang saya tahu cuma terbitan Pustaka Firdaus; edisi Indonesianya banyak gambar & ilustrasi. Adik saya dulu baca itu waktu masih SD. 😛

    Btw, nafsu menulisnya belum timbul ya? Hampir seminggu ini.

    Uh… well… entah kenapa susah sekali mulai lagi sejak istirahat 2 minggu kemarin… XD

    Padahal bukannya ga ada ide juga sih. Di writing list saya cukup banyak, cuma mood menuangkannya kok belum ada. 😐

    *semoga bisa cepat muncul* ^:)^

  7. Arief Rakhman Juni 15, 2011 pukul 6:40 pm

    analisisnya keren! komprehen sip!
    luas dan dalem, *harus dibaca dua kali nih,

  8. sora9n Juni 16, 2011 pukul 10:11 am

    @ Arief Rakhman

    Terima kasih. ^^

  9. eMina Juni 26, 2011 pukul 11:33 am

    eh yang hidup pada jaman harun al rasyid itu nasrudin hoja atau abu nawas sih? atau keduanya orang yang sama? *jarang ngikutin sufi humoris ini* :mrgreen:

  10. Jabizri Juni 27, 2011 pukul 2:35 pm

    “Tales of the Dervishes”
    “Zen Flesh, Zen Bones”

    Kalau tertarik dengan Nasreddin mungkin akan tertarik juga dengan 2 judul diatas.. 🙂

  11. sora9n Juli 1, 2011 pukul 7:11 pm

    @ eMina

    Itu Abu Nawas, orangnya beda. 😛

    @ Jabizri

    Thanks rekomendasinya. ^^

  12. azwar ammar Agustus 12, 2011 pukul 1:09 am

    Abu Nawas dg Nashruddin Hoja apakah satu org yg sama..??
    siapakah Abu Nawas..??
    siapakah Nashruddin Hoja..??

    trims..

  13. Pingback: Jadilah Diri Sendiri dan Berfikirlah Secara Positif Agar Anda Sukses Besar dan Dikagumi Orang Karena Meskipun Anda Luar Biasa Hebat Anda Itu Ternyata Orangnya Baik Hati dan Tidak Sombong Seperti Piyu Padi [Oh, Tuhan, Bukankah Anda Membenci Bloger Medioker

  14. Anisa Budiarthati (@asinan_bogor) September 22, 2011 pukul 4:01 pm

    waah, kangenny sm nasruddin. dr sd udh bc nasruddin tp lg kesulitan cr bukuny. makasih bwt referensiny. ulas tulisan anthony de mello jg y…

  15. warm Januari 31, 2012 pukul 8:10 am

    saya juga suka baca cerita pak Nasruddin yg ini
    dan ulasan sampeyan ini bener2 keren, rapi pisan 🙂

Posting komentar. Apabila tidak muncul, ada kemungkinan tersaring filter spam. Harap tunggu pemilik blog untuk mengecek dan melepaskan.