ZENOSPHERE

science, philosophy, and cultural menagerie

Lengkung yang Menyebarkan Beban

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, terdapat beberapa penemuan yang, sekalinya ditemukan, langsung cukup sempurna, sedemikian hingga dalam ribuan tahun tidak banyak perubahan. Satu contoh yang bagus adalah roda. Sejak awal peradaban hingga kini prinsipnya sama: benda bulat yang menggelinding pada porosnya. Jikapun ada inovasi hanya pada detail, misalnya pembagian antara velg dan karet ban. (dulu tidak ada)

Contoh lain yang juga bagus adalah pena. Pena adalah padatan memanjang yang dalamnya berongga; rongga itu berfungsi mewadahi tinta sebelum ditulis. Sama dengan roda perkembangannya di zaman modern tidak prinsipil — jika dulu pakai bulu elang, sekarang logam, namun cara kerjanya tidak berubah.

Nah, di bidang arsitektur, ada juga teknologi yang seperti itu, yang dipopulerkan oleh peradaban Romawi Barat. Teknologi itu adalah bentuk struktur lengkung — dalam bahasa Inggrisnya disebut arch. Sebuah struktur lengkung mempunyai kemampuan luar biasa dalam mendistribusikan beban. Bahkan saking efektifnya, di masa kini prinsipnya masih dipakai membangun jembatan dan jalan tol.

Sehebat apa sebuah struktur lengkung? Di bawah ini satu contohnya. Didirikan di zaman Romawi, mengular sepanjang 813 meter, dan tinggi 28.5 meter, bangunan ini masuk daftar World Heritage List UNESCO. Namanya adalah Saluran Air Segovia — dan usianya sudah mencapai dua ribu tahun.

Yes, you heard that right. Bangunan yang sudah ada selama dua milenium! ๐Ÿ˜ฎ Peninggalan seperti ini membuat orang merasa kecil di tengah perjalanan waktu.

[img] Aqueduct of Segovia

(image credit: Wikimedia Commons)

Adapun di zaman modern, contoh penerapan struktur lengkung yang mantap terdapat di Jembatan Chaotianmen di Cina. Namun berbeda dengan Saluran Air Segovia jembatan ini mempunyai kawat baja. Sedemikian hingga di bagian tengah, struktur lengkung bersifat menarik beban — bukannya menyokong seperti era Romawi dulu.

[img] Chaotianmen Bridge

(image credit: Wikimedia Commons)

Melalui dua contoh di atas jadi terlihat kekuatan di balik struktur lengkung. Baik di zaman kuno maupun modern dia sama efektifnya. Pertanyaannya sekarang, mengapa dia begitu kuat?

 
Belajar dari Telur
 

Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menengok contoh yang diberikan alam, yaitu kulit telur. Terkait hal ini ada video eksperimen yang bagus.

Seorang wanita diminta berdiri tepat di atas satu pak telur. Namun terjadi peristiwa menakjubkan, telur yang diinjak tidak pecah! ๐Ÿ˜ฎ

Bukan sulap, bukan sihir.

Tentunya bisa begitu bukan karena ditahan oleh jin atau makhluk gaib, kalau iya, takkan kita bahas di blog ini. ๐Ÿ˜› Biarpun mencengangkan namun peristiwa di atas bisa dijelaskan secara fisika. Kekokohan itu sebenarnya disumbang oleh bentuk kulit telur.

Sebuah telur mempunyai anatomi: bagian atas lebih lonjong daripada bagian bawah (lihat diagram). Apabila kulit telur disangga berdiri vertikal — seperti dalam video — maka yang menerima beban adalah bagian paling lengkung. Kelengkungan itu lalu mendistribusikan gaya vertikal dari titik puncak menuju ke samping, terus ke penyangga, hingga akhirnya ke tanah. Pada akhirnya terbentuk sistem saling-menopang yang stabil.

[img] diagram telur

Distribusi gaya berat pada kulit telur
(vektor tidak sesuai skala)

Namun perlu dicatat bahwa biarpun lengkung, bukan berarti semua sisi telur sama kuatnya. Kelengkungan di puncak telur (titik A) berbeda dengan di sisi samping (titik C dan D). Sebagaimana bisa dilihat dalam gambar titik C dan D mempunyai bidang yang lebih datar. Oleh karena itu secara struktural mereka lebih lemah.

Pernahkah pembaca terlintas, mengapa juru masak selalu memecah telur dari sisi samping? Nah sekarang kita tahu jawabannya. ๐Ÿ˜‰

Mengenai kekuatan telur sendiri tak luput dari pengamatan pemikir zaman dulu. Mulai dari tokoh Romawi hingga Renaisans urun rembuk mengomentarinya.

“No human force can break it”

Pliny the Elder

 
“Why is it that an egg held with your hands by its top and bottom and pressed with great force cannot be crushed?”

Galileo Galilei

 
“We have proved that three eggs, fixed upright on a table . . . can support the weight of a metal mortar of over 150 pounds”

Vincenzo Scamozzi

 
(dikutip dalam Benvenuto, 1991, hlm. 312)

Oleh karena itu, wajar jika orang jadi terinspirasi memanfaatkan sifat lengkung untuk bangunan. Tujuannya tentu untuk menahan beban. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.

 
Mengadaptasi Lengkung: Segmen Balok
 

Di bawah ini adalah peraga fisika yang cukup menarik. Jika pembaca pernah main ke museum sains, kemungkinan besar sudah tahu. Alatnya terdiri atas balok-balok berbeda bentuk — fotonya bisa dilihat sebagai berikut.

[img] arch miniature

(via Open University Podcast)

Nah, yang di atas itu adalah contoh adaptasi struktur lengkung oleh manusia. Ditinjau secara struktur dia mengikuti prinsip telur yang sudah kita bahas. Bukan kebetulan bahwa bentuknya mirip jembatan kuno di Italia atau Prancis — memang gagasan di baliknya sama.

Perhatikan bahwa setiap segmen dalam foto bersifat saling mendukung. Apabila yang satu dilepas, maka keseluruhannya akan ambruk; mirip dengan animasi di bawah.

[img] struktur kolaps

(image credit: Arizona State University)

Keambrukan itu terjadi karena gaya berat yang harusnya disalurkan putus di tengah jalan. Awalnya terdapat vektor gaya yang menekan. Namun karena tidak ada balok yang menyambut, akhirnya dia cuma mendorong udara, dan hilang kestabilannya.

Nah, ditinjau secara fisika, vektor gaya yang merambat dalam balok itu disebut line of thrust (“garis gaya dorong”). Sebuah bangunan akan stabil jika line of thrust tertampung di dalam struktur. Namun apabila keluar maka bisa terjadi patah atau deformasi (penyok).

Adapun untuk kasus lengkung bersegmen, analisis line of thrust -nya adalah sebagai berikut. Perhatikan bahwa tidak ada yang keluar — semua garis gaya dialirkan sempurna menuju tanah.

[img] vector lines

(image credit: Sandia National Laboratory)

Di sinilah kita menyadari bahwa kestabilan struktur bangunan, pada dasarnya, adalah manipulasi distribusi beban. Sebuah gaya berat harus dialirkan sedemikian rupa agar tidak “lari” dari struktur. Bagaimana supaya vektor bisa teralirkan sampai ke tanah, tanpa ada struktur yang patah, itu dia yang dikejar. Menarik bukan? ๐Ÿ˜‰

Adapun untuk mencapainya para insinyur mempunyai sejumlah tips dan trik. Mulai dari menambah pilar, membuat buttress, hingga yang ekstrim seperti menggunakan kabel penahan (seperti Jembatan Chaotianmen di awal). Ada juga yang memilih memperkuat material. Mengenai hal ini tidak ada aturan bakunya — kembali pada situasi, kondisi, dan pertimbangan insinyur yang bertanggungjawab.

 
Lengkung di Dunia Tiga Dimensi
 

Sejauh ini kita sudah membahas struktur lengkung serupa-jembatan. Ciri utamanya adalah mampu menahan beban dengan dua kaki yang berseberangan. Adapun bentuknya khas: memanjang mengikuti garis lurus.

Hanya saja, biarpun stabil, struktur itu punya kekurangan. Dia terbatas pada garis lurus. Sementara itu kita hidup di dunia tiga dimensi; ada kalanya struktur serupa-jembatan itu tidak memadai.

Menyikapi hal itu para insinyur kemudian melakukan perluasan. Bagaimana jika kaki lengkungnya tidak cuma disebar pada garis, melainkan pada bidang? Bagaimana jika jumlah kaki tidak mesti terbatas pada dua. Katakanlah misalnya empat.

Nah, salah satu perwujudan lengkung berkaki empat itu disebut sebagai pendentive. Sebuah pendentive berbentuk mirip kubah, namun dia punya empat kaki lengkung yang saling menyokong.

[img] pendentive model

Penampakan sebuah pendentive

(image credit: Wikimedia Commons)

Apa hebatnya pendentive? Salah satunya untuk menahan kubah raksasa. Bayangkan sebuah kubah beton dengan diameter puluhan meter; yang semacam ini beratnya bisa ratusan ton. Namun dengan memanfaatkan pendentive maka beban itu dapat tertahan.

Satu contoh penerapan pendentive yang fenomenal terdapat pada monumen Hagia Sophia di Turki. Monumen ini mempunyai kubah yang berdiameter 30 meter — kalau hendak dibayangkan, kira-kira sepertiga panjang lapangan bola. Jelas beban yang sangat berat. Meskipun begitu struktur empat kaki lengkung membantu mendistribusikan tekanan dengan baik.

[img] Interior Hagia Sophia

Struktur pendentive Hagia Sophia terlihat persis di bawah kubah

(image credit: Wikimedia Commons)

Contoh lain yang juga menarik adalah cross vault, yaitu penahan langit-langit yang umum terdapat di katedral. Dua struktur lengkung (arch) dibuat bersilang dan saling memperkuat. Jadi tambah hebat sebab dilihat dari bawah, mereka tampak artistik.

[img] cross vault

Cross vault dilihat dari atas, bawah, dan foto

(image credit: Wikimedia Commons [1], [2], [3])

Adapun contoh vault yang cukup epik bisa dilihat dalam foto di bawah. Enam buah lengkung dibuat bersilang di langit-langit… menghasilkan pola interaksi yang kompleks. Agak curang sih, sebab secara struktural, tidak semua lengkungnya “bertugas” menahan beban. ๐Ÿ˜› Namanya adalah lierne vault.

[img] Chester Cathedral Lierne

Vault di Katedral Chester (Inggris Raya)

(image credit: Wikimedia Commons)

Dan masih banyak contoh lainnya. Bermula dari keinginan mendistribusikan beban, para arsitek memanipulasi struktur sedemikian rupa; dalam prosesnya menghasilkan bangunan yang — kalau boleh dibilang — bercitarasa seni tinggi.

* * *

Namun tentu saja, betapapun hebatnya, teknik arsitektur hanyalah sebuah komponen — a mean to reach an end. Yang lebih penting adalah bagaimana teknik itu berkontribusi dalam keseluruhan bangunan, baik secara artistik maupun fisik. Keduanya harus seimbang.

Ibaratnya, apa gunanya sih kita punya rumah mewah, kalau ternyata mudah runtuh? :mrgreen: Bagaimanapun kekokohan dan keamanan bangunan tetap nomor satu. Terkait hal itu secara khusus digariskan dalam kode etik insinyur.

Akan tetapi menarik memikirkannya. Bahwa dari upaya untuk menjaga kestabilan, bisa timbul sebuah ekspresi keindahan. Bermula dari kebutuhan praktis para insinyur memutar otak, dan dalam prosesnya, ternyata menghasilkan solusi yang artistik. There’s something intriguing about that…

 

 
——

Pustaka:

 
Adam, J-P. (1999). Roman Building: Materials and Techniques. London: Routledge

Benvenuto, E. (1991). An Introduction to the History of Structural Mechanics: Part II: Vaulted Structures and Elastic Systems. New York: Springer-Verlag

Heyman, J. (1969). The Safety of Masonry Arches. International Journal of Mechanical Sciences 11, 363-385

Irvine, H.M. (1979). The Stability of The Roman Arch. International Journal of Mechanical Sciences 21, 467-475

Posting komentar. Apabila tidak muncul, ada kemungkinan tersaring filter spam. Harap tunggu pemilik blog untuk mengecek dan melepaskan.